Senin, 13 Februari 2012

Jangan Pergi Ayah




Pagi yang ceria untuk memulai hari. Cerah secerah wajah burung burung Nuri peliharaan ayah yang berkicau mesra di balik kerangkeng di depan kamar. Aku bangun dengan senyum menawan. Membuat iri para bidadari yang sedang bercanda gurau di kahyangan. Ku turunkan kaki ku melangkah menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar. Dengan rambut berantakan dan mata sipit karena masih malu-malu menerima sinar yang datang. Ku tutup pintu kamar mandi, ku buka pintu lemari di dalam kamar mandi. Mengganti pakaian tidurku dengan baju mandi. Ya baju mandi. Sejak kecil orang tua ku mendidikku untuk tidak menanggalkan pakaian seluruhnya bahkan saat mandi. Didikan itu begitu dalam ditancapkan terutama oleh ayahku. Ayah paling tidak suka melihat anak-anaknya menampakkan auratnya di rumah sekali pun. Kami memang orang yang tergolong sangat mapan. Mempunyai beberapa pembantu dan tinggal di rumah yang menurut banyak orang mirip bagai istana. Namun ayah mampu menjadikan kami sebagai orang-orang yang sederhana dan tidak nampak borju.
            Aliran air itu membasahi wajah dan tubuhku. Mengembalikan setengah jiwa yang masih berjalan-jalan entah kemana setelah tidur panjang semalam. Ku basuh wajah ku dengan air agar mata ku yang masih sipit itu terbuka lebar. Setengah jam berlalu. Aku keluar dengan baju berbahan handuk. Di atas kasur nampak terlihat baju sekolah ku sudah terlentang menanti. Tas sekolah ku yang berisi pelajaran pun sudah terlihat siap di atas kursi meja belajarku. Mbak Yanti yang menyiapkannya. Ia adalah orang yang dipercaya ayah untuk mengurus segala keperluanku di rumah. Memang terkadang risih diperlakukan seperti layaknya putri di istana. Namun untuk beberapa hal memang enak dan sangat membantu perlakuan yang seperti ini.
            Waktu masih bersahabat denganku. Aku mengganti baju handukku dengan baju sekolah dengan santai. Ku mainkan musik a whole new world kesukaanku melalui iPod hadiah dari ayah karena aku berhasil menjadi juara olimpiade Biologi tingkat kota. Alunan lagu Alladin itu mengisi kamar ku dengan nada nada yang membuat jiwa melayang beberapa inchi di atas tanah. Ku dengarkan lagu itu sambil sesekali mengecek tugas sekolah ku yang menumpuk. Hari ini aku memang mendapat dispensasi dari sekolah karena akan mengikuti seleksi olimpiade tingkat propinsi di kantor diknas di kotaku. Namun guru-guru di sekolah ku tidak pernah memberi toleransi apa pun untuk masalah tugas. Entah itu sakit, izin atau dispen. Tugas tetap harus masuk atau nilai di buku nilai guru itu nol.
            Alunan musik Alladin itu usai. Aku keluar dari kamarku di lantai dua dan turun menuju ruang makan di bawah. Sudah menjadi tradisi di keluarga kami untuk sarapan bersama di ruang makan. Keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Aku anak ke dua, kakak ku bernama Lucky seorang mahasiswa di universitas ternama di kota ku. 2 adikku bernama Yoki yang sekarang satu sekolah dengan ku namun ia satu kelas di bawah ku dan Nanda adik kecil ku yang sekarang masih SD kelas 6. Ayah adalah seorang rektor di universitas negeri ternama di kota ku. Sedangkan ibu adalah dosen sekaligus pembantu dekan 1 di universitas swasta yang cukup terkenal di kota ini.
            Di meja makan nampak kak Lucky dan Nanda sudah asyik menikmati makanan yang terhidang lezat di atas meja. Yoki belum nampak terlihat. Entahlah, dia saudara ku yang paling malas, ia yang selalu bangun paling akhir di keluarga kami. Ayah sudah sering memarahinya tapi tidak pernah sekalipun ia berubah, ingin pun sepertinya tidak. Tapi bagaimana pun juga dia anak yang paling pintar dari 4 bersaudara ini. Ia menjadi juara lomba robotic tingkat internasional dan ketika ia lulus SMA nanti, ia sudah di kontrak beasiswa oleh sebuah universitas terkemuka di Amerika sana. Sedangkan aku, mengikuti seleksi olimpiade tingkat kota saja sepertinya sudah menjadi batas maksimal ku.
            “Angel, kamu sudah siap olimpiade nanti?”, Tanya kak Lucky.
            “Yups, kemarin sudah latihan soal banyak banget, terus udah lumayan hafal isi buku Chambell dan buku TOBI”, jawab ku penuh semangat.
            “Hari ini masih pelatihan kan?”.
            “Iya, nanti pelatihan di diknas, pelatihannya 1 minggu terus langsung seleksi lagi tingkat propinsi, kalau lolos 3 hari kemudian akan langsung diboyong ke Jakarta untuk ikut seleksi tingkat nasional”.
            “Semangat ya!”.
            “Iya kak”, kata ku dengan nada bersemangat sambil melirik Nanda yang nampak bingung dengan pembicaraan kami berdua.
            Ku ambil piring yang menganggur di atas meja. Ku isi dengan sedikit nasi lalu ku ambil beberapa lauk yang tersedia di depan ku. Ada yang kurang pagi ini. Ayah, ya, ayah belum juga kunjung ku lihat di ruang makan. Padahal biasanya ayah adalah orang pertama yang datang ke ruang makan dan duduk ditemani koran dan secangkir kopi luak kesukaannya. Ku lirik meja yang biasa ia singgahi. Hanya nampak kopi yang mengepul mengeluarkan aroma khas kopi luak. Kemana ayah?
            “Kenapa kak Angel?”, Tanya Yoki dari belakang mengagetkan ku.
            “Nggak kenapa kenapa”, jawab ku kaget.
            “Ayah sakit, katanya nggak bisa bangun barusan mama nelpon dokter Jamal buat datang kesini”, kata Lucky seakan membaca pikiranku yang di dalamnya ada pertanyaan “kemana ayah?”.
            “Parah nggak?”.
            “Nggak tau, belum ke kamarnya”, kata Yoki santai seraya duduk dan menyiapkan makanan untuk dirinya.
            Setitik rasa tak enak menghinggapi hati dan pikiranku. Namun aku membuang jauh jauh pikiran itu. Ayah memang biasa sakit-sakitan jika musim hujan datang. Yang ku tahu musim hujan sudah melangkah datang 3 minggu yang lalu. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa musim di masa ini sudah tak tentu lagi karena pengaruh pemanasan global yang terkenal itu.
            Aku makan dengan perasaan hampa. Biasanya ketika makan pagi ayah selalu memberi wejangan berharga yang akan menambah semangat di pagi hari dan ibu akan memberi cemilan yang biasanya berupa coklat untuk membuat pagi kami menjadi lebih manis dengan harapan hari kami kedepan akan manis semanis coklat dari tangan ibu. Usai makan aku kembali ke kamar, mengenakan kerudung putih yang terkulai tak berdaya di atas kursi. Entah kapan mbak Yanti menyiapkannya, karena saat aku turun tadi kerudung itu belum ada di tempatnya sekarang. Aku bercermin, melihat wajahku yang putih kemerahan di balut kerudung nampak manis dan cantik. Wajahku mirip ayahku yang putih dan tampan, dengan hidung mancung dan nampak seperti orang eropa. Ayah memang keturunan Belanda asli. Sedangkan mataku nampak seperti mata ibu yang berwarna coklat muda. Ku lihat lekat-lekat wajahku di dalam cermin. Nampak begitu anggun dan dewasa di balik balutan kerudung. Kerudung ini ayah yang menyuruh aku memakainya. Agar nampak cantik dan manis katanya. Tanpa dukungan ayah dan dorongan dari ibu entah apa aku masih memakainya atau tidak. Karena yang ku rasa kerudung ini begitu panas menyiksa diri dan tak begitu nyaman di kepalaku.
            Alarm jam di kamarku berteriak kencang. Mengingatkan ku bahwa aku harus segera berangkat agar tidak terlambat. Aku segera turun, menuju kamar ayah. Ku lihat ia terbaring tidur dengan wajah yang nampak menahan sakit. Di sampingnya ku lihat ibu duduk dengan cemas memegangi tangan ayah yang nampak pucat. Dokter Jamal belum datang, mungkin masih di perjalanan. Dokter Jamal adalah dokter keluarga kami. Ku kecup tangan bunda dan kening ayah sebelum mengucapkan salam untuk pergi ke sekolah. Aku berlari ringan menuju mobil Lancer yang sudah menyala nyaring. Pak Gusti sudah siap sedia menungguku di dalam mobil. Kami berangkat dengan do’a dan canda.
            Diknas nampak begitu sepi. Maklum, jam masih menunjukkan angka 7.20, biasanya mereka yang bekerja di dinas baru bermunculan ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.00. 3 anak lain yang lolos seleksi olimpiade tingkat kota ku lihat sudah duduk menanti pembimbing kami. Dalam perjanjian yang kami buat kemarin, pelatihan olimpiade akan dilaksanakan pukul 7.30. Jadi masih ada 10 menit untukku beristirahat relaks sejenak sebelum kepalaku di penuhi oleh teori teori enzim dan rangkaian rangkaian kimia yang membuat kepalaku terasa sangat panas dan berat. Pak Gusti sudah pergi meninggalkan ku sendiri. Ia harus siap di rumah untuk mengantar ibu ke kampus. Pak Gusti adalah satu-satunya supir di keluarga kami. Ibu sempat meminta ayah untuk mencarikan supir lain agar pak Gusti tidak repot mengurus aku, Nanda dan ibu. Tapi ayah menolak dengan alasan berhemat. Sejenak berlalu sesaat pergi. Pembimbing itu akhirnya datang juga. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata bulat dan jidat lebar. Yang ku tahu ia adalah dosen ahli di universitas tempat dimana ayahku menjadi rektor.
            Latihan olimpiade pada hari ini begitu menarik. Dosen senior ini menampakkan kelasnya sebagai pendidik bukan pengajar yang handal pada kami. Ia mendidik kami dengan sangat menyenangkan sekaligus membuat kami paham. Tak seperti guru Biologi pembimbing olimpiade di sekolahku yang menuntut aku untuk hafal. Ia menuntut aku untuk paham akan pelajaran yang ia sampaikan. Ia menyampaikan materinya dekat diselingi oleh candanya agar tak nampak membosankan, namun disela tawa itu kami dibawa agar konsentrasi kami tidak hilang. Sebuah hal yang hanya bisa dilakukan oleh pengajar professional.
            Di tengah pembahasan aku mendapat SMS dari kak Lucky, “Angel, Bapak dibawa ke rumah sakit, kamu jangan khawatir, tetap lanjutkan belajar!”. Itu isi SMS yang ia kirim. Sejenak aku kehilangan mood untuk belajar. Pikiranku melayang membuat banyak pertanyaan. Namun seiring waktu, kharisma dosen ini membawa ku terhanyut lagi ke dalam ilmu yang ku gemari ini. Walaupun terkadang rasa mengganjal itu ada, namun hal itu dapat ditekan oleh menariknya bahasan yang diangkat oleh dosen ini. 20 menit berlalu sejak SMS itu. Tiba-tiba HP ku bergetar kencang seiring dengan suara ringtone yang keluar dari HP milik dosen yang ia simpan di sakunya. Ku angkat telpon di HP ku. Sekilas ku lihat dosen itu melakukan hal yang sama. Anak- anak lain melihat kami berdua dengan senyum aneh dan tawa tertahan.
            “Halo Assalamu’alaikum”, kata kak Lucky dari balik telpon.
            “Wa’alaikumsalam, ada apa kak?”, kata ku.
            “Ayah dek….”, kata kak lucky tertahan
            “Ayah kenapa kak?”
            “Ayah meninggal angel, ayah gagal jantung”, kata kak Lucky seraya terisak tak mampu menahan tangis.
            “Serius kak? Dimana sekarang?”, kataku dengan suara yang bergetar nyaris hampir tak terdengar.
            “RS Bhayangkara dek, kamu izin dulu sama pembimbingnya ayo cepat kesini”
            “I….Iya kak”, air mataku mengalir tak henti, mulutku bergetar menahan suara yang ingin rasanya ku keluarkan dalam bentuk teriakan. Entah bagaimana bentuk hatiku saat ini. Mungkin tak berbentuk lambang cinta. Mungkin sudah berbentuk segitiga atau bangun tak bersegi.
            Ku lihat dosen itu juga berlinang air mata. Aku yakin ia mendapat kabar juga dari temannya sesama dosen. Teman-teman ku yang lain menatap kami berdua dengan bingung. Beberapa dari mereka membuka HP, entah mungkin mengecek tokoh terkenal siapa yang meninggal sehingga membuat 2 orang menangis bersamaan setelah menerima telpon yang bersamaan pula. Aku segera minta izin ke dosen itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala dan tatapan iba padaku. ku rasa ia begitu menghormati sosok ayahku, sampai sampai ia terlihat begitu terpukul atas kepergian ayahku. Di tempat parkir ku lihat pak Gusti sudah siap. Ku lihat matanya sembab oleh air mata. Sepertinya tak hanya aku yang terpukul atas kejadian ini.
            Perjalanan terasa begitu lama. Aku hanya bisa memejamkan mata. Membayangkan kejadian kejadian di masa lalu ketika kami sekeluarga selalu bercanda bersama dan canda itu pasti selalu berawal dari kata kata ayah yang menarik kami untuk tertawa. Teringat kembali bagaimana bentuk wajah ayah yang rupawan tersenyum padaku. Air mata itu terus mengalir membasahi pipi yang sudah merah menyala. Mataku nampak bengkak karena terlalu banyak mengeluarkan air mata. Entah bagaimana mengungkapkan rasa di hati ini dengan kata-kata. Aku pernah ditinggal oleh kekasih yang sangat aku cintai. Rasanya perih dan pedih. Namun ini, jauh, jauh dari rasa itu. jauh lebih perih, jauh lebih pedih, jauh lebih rindu. Ya, rindu. Aku menjadi sangat rindu pada ayah. Rasa penyesalan ku tumbuh ketika aku sadar, mengapa tak ku peluk tubuh ayah ketika ia masih bernafas tadi pagi? Mengapa tak kecup kening itu lebih lama? Mengapa do’a untuk kesembuhannya tak ku ucapkan? Mengapa? Beribu pertanyaan muncul di balik benakku, mengunci mati diriku sendiri dalam penyesalan yang sangat mendalam. Aku hanya bisa mengucurkan air mata. Membuat pertanyaan-pertanyaan yang semakin mengecilkan hatiku tanpa membuat jawaban apa pun. Inilah rasanya ditinggal orang yang dicinta. Terasa begitu sepi dan dingin. Terasa seperti tak memakai sehelai benang penutup tubuh. Dingin dan rentan. Sempat sekilas aku berfikir menghujat tuhan. Mengapa harus ayahku yang diambil? Ada jutaan orang di muka bumi mengapa harus ayahku yang usianya masih 44 tahun? Mengapa? Namun apalah arti menghujat tuhan. Buku itu memang sudah dituliskan. Buku itu yang bernama takdir sudah ditetapkan. Aku hanya bisa pasrah menerima kehendak yang mahakuasa. Walau pedih dan perih. Hanya do’a dan penghiburan diri yang mampu ku ucapkan.
            Detik berganti menit, menit berganti jam. Aku duduk di atas pusara ayah yang masih nampak baru dan segar. Menatap lekat-lekat setiap inchi pusara tempat peristirahatan terakhir orang yang membentuk aku menjadi pribadi yang tangguh dan berguna. Ku lihat Nanda masih terisak memegang patok batu di atas pusara itu. Ia terus mengucap nama ayah. Ucapan yang mungkin didengar oleh ayah namun tak dapat ia balas. Ku lihat ibu terus menatap pusara itu tanpa kata dan dengan hampa. Entah kesadarannya pergi kemana. Yang ku tahu, memori-memori masa lalu itu kini sedang tayang di dalam angan-angannya. Memori bahagia, memori penuh tawa.
            Jam berganti hari, hari berganti bulan. Keadaan berubah semenjak kepergian ayah. Kami semua nampak begitu pendiam. Nanda yang biasa berceloteh ini itu, kini tak terdengar lagi kicaunya. Aku pun begitu. Olimpiade Biologi ku lepas. Aku benar-benar tak bisa berkonsentrasi mengikuti pelatihan semenjak kepergian ayah. Nilai-nilaiku dan ketiga saudaraku pun anjlok di sekolah. Entah apa yang ada dibenak kami sehingga prestasi kami bisa turun seperti itu. Satu yang kusadari yaitu ayah menjadi sebuah pusat di keluarga kami. Kami benar-benar bersandar sepenuhnya padanya. Dan saat ini ia tak ada dan hilanglah tempat kami bersandar. Sehingga kami benarbenar jatuh. Ibu pun tak mampu menanggulanginya. Karena ia sendiri pun nampaknya masih belum bisa menerima kepergian ayah. Ia nampak murung dan sepi. Kami mulai meninggalkan kebiasaan makan bersama di ruang makan. Kami benar-benar kehilangan momen keluarga. Sejenak lalu memang kami berusaha untuk berubah karena kami kasihan melihat ibu yang kian hari kian murung dan tak henti menangis. Namun apalah daya apa lacur. Kami tetap belum bisa mengendalikan perasaan kehilangan kami yang mendalam. Walau jam telah berganti hari dan hari telah berganti bulan dan bulan terus bertambah menjadi bulan yang baru dan seterusnya yang baru. Hingga suatu hari keadaan memburuk. Ibu benar-benar kehilangan akal sehatnya. Ia mulai suka berbicara sendiri, menangis sendiri, tertawa sendiri bahkan ia menganggap bahwa boneka beruang pemberian ayah padanya adalah ayah. Ia sering mengobrol dengan boneka beruang itu. Karena merasa hal ini tak dapat dibiarkan, ibu kami kirim ke rumah sakit jiwa untuk mendapat pertolongan. Jadilah kami menjadi anak-anak yang tak bisa apa apa. Kak Lucky mendapat black list dari kampus karena sering tidak masuk. Aku dan Yoki pun tak jauh berbeda. Nanda yang masih kecil memang tidak terlalu parah keadaannya, namun indeks prestasinya sedikit menurun adanya. Kami akhirnya memutuskan untuk tinggal bersama bibi di Bogor. Sebuah tempat yang sangat jauh di pulau seberang. Namun itu memang langkah yang harus kami tempuh. Rumah istana itu akhirnya kami jual, segala harta benda kami pun jual untuk membantu biaya bibi dalam mengurus kami.
            Aku benar-benar merasa telah berubah. Tak ada lagi baju yang disiapkan di atas kasur, tak ada lagi kerudung indah, bahkan tak ada lagi sekolah elit mahal yang dulu sempat aku tempuh. Di Bogor ini aku bersekolah di sekolah standar. Bibi memang mendapat kucuran dana besar dari hasil penjualan rumah kami. Namun bagaimana pun juga uang itu harus dihemat. Apalagi ia harus membangun rumahnya yang kecil itu menjadi lebih besar agar muat menampung kami berempat dan keluarganya yang terdiri dari 3 orang anak.
            Sungguh aku muak dengan apa yang terjadi. Pagi ini pagi yang mendung di kota hujan. Aku tinggal di rumah sendirian karena kebetulan sekolah ku libur karena rapat guru. Di rumah ini tak ada pembantu. Jadi aku benar-benar sendiri di rumah. Entah iblis apa yang merasuk ke dalam angan ku. Sekejap lamanya aku mengambil tambang yang tergeletak rapi di gudang. Ku ikatkan ke atas langit langit kayu yang ada di kamarku. Ku buat tali berbentuk lingkaran di bagian bawah. Aku muak dengan hidup ku. Tak ada lagi angel yang cantik, manis dan pintar. Kini aku sudah hancur. Aku lingkarkan tali itu ke leherku. Sekejap lama sedetik waktu, aku tergantung dengan rasa pusing yang luar biasa. Sekilas aku sadar, betapa bodohnya aku lari dari masalah duniawi menantang masalah surgawi. Aku baru sadar bagaimana perasaan ayah ketika bertemu aku di akhirat nanti dengan keadaan ku yang mati dengan paksa ini? Kecewa pastinya dia. Namun sadar itu terlambat adanya. Karena mata telah padam dan kesadaran sudah menjadi bayang bayang. Ingin rasanya ku paksakan untuk mencapai kesadaran penuh. Namun apa lacur. Nasi sudah menjadi bubur. Ku pejamkan mata dan ku lemaskan badan dengan penuh penyesalan.
            Entah apa yang ku rasa entah apa yang ku pikirkan. Namun aku yakin aku melihat sinar di depanku. Aku yakin aku telah tiada, namun aku pun yakin itu sinar terang yang ada di depan ku. ku mencoba membuka mata. Silau awalnya pusing akhirnya. Aku membuka mata perlahan dan ku lihat ketiga saudara ku mengelilingi ku. Aku tertidur di atas matras rumah sakit dengan tangan terpasang infus. Kesadaran ku pulih. Ini bukan akhirat. Ini nyata! Aku masih hidup! Duduk aku dengan tergesa. Menatap hampa sekeliling yang ada. Otakku dengan segera menyusun pertanyaan. “Hendak apa ku jadikan hidupku yang baru ini?”. Dan untuk kali ini ku temukan jawabannya. “Membuat ayah bahagia di Surga sana”.



Karya: Ahmad Shafly Zachary