Pagi yang ceria untuk memulai hari. Cerah secerah
wajah burung burung Nuri peliharaan ayah yang berkicau mesra di balik
kerangkeng di depan kamar. Aku bangun dengan senyum menawan. Membuat iri para
bidadari yang sedang bercanda gurau di kahyangan. Ku turunkan kaki ku melangkah
menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar. Dengan rambut berantakan dan mata
sipit karena masih malu-malu menerima sinar yang datang. Ku tutup pintu kamar
mandi, ku buka pintu lemari di dalam kamar mandi. Mengganti pakaian tidurku
dengan baju mandi. Ya baju mandi. Sejak kecil orang tua ku mendidikku untuk
tidak menanggalkan pakaian seluruhnya bahkan saat mandi. Didikan itu begitu
dalam ditancapkan terutama oleh ayahku. Ayah paling tidak suka melihat anak-anaknya
menampakkan auratnya di rumah sekali pun. Kami memang orang yang tergolong
sangat mapan. Mempunyai beberapa pembantu dan tinggal di rumah yang menurut
banyak orang mirip bagai istana. Namun ayah mampu menjadikan kami sebagai
orang-orang yang sederhana dan tidak nampak borju.
Aliran air itu membasahi wajah dan
tubuhku. Mengembalikan setengah jiwa yang masih berjalan-jalan entah kemana
setelah tidur panjang semalam. Ku basuh wajah ku dengan air agar mata ku yang
masih sipit itu terbuka lebar. Setengah jam berlalu. Aku keluar dengan baju
berbahan handuk. Di atas kasur nampak terlihat baju sekolah ku sudah terlentang
menanti. Tas sekolah ku yang berisi pelajaran pun sudah terlihat siap di atas
kursi meja belajarku. Mbak Yanti yang menyiapkannya. Ia adalah orang yang
dipercaya ayah untuk mengurus segala keperluanku di rumah. Memang terkadang
risih diperlakukan seperti layaknya putri di istana. Namun untuk beberapa hal
memang enak dan sangat membantu perlakuan yang seperti ini.
Waktu masih bersahabat denganku. Aku
mengganti baju handukku dengan baju sekolah dengan santai. Ku mainkan musik a
whole new world kesukaanku melalui iPod hadiah dari ayah karena aku berhasil
menjadi juara olimpiade Biologi tingkat kota. Alunan lagu Alladin itu mengisi
kamar ku dengan nada nada yang membuat jiwa melayang beberapa inchi di atas
tanah. Ku dengarkan lagu itu sambil sesekali mengecek tugas sekolah ku yang
menumpuk. Hari ini aku memang mendapat dispensasi dari sekolah karena akan
mengikuti seleksi olimpiade tingkat propinsi di kantor diknas di kotaku. Namun
guru-guru di sekolah ku tidak pernah memberi toleransi apa pun untuk masalah
tugas. Entah itu sakit, izin atau dispen. Tugas tetap harus masuk atau nilai di
buku nilai guru itu nol.
Alunan musik Alladin itu usai. Aku
keluar dari kamarku di lantai dua dan turun menuju ruang makan di bawah. Sudah
menjadi tradisi di keluarga kami untuk sarapan bersama di ruang makan. Keluarga
yang terdiri dari ayah, ibu, 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Aku anak ke
dua, kakak ku bernama Lucky seorang mahasiswa di universitas ternama di kota
ku. 2 adikku bernama Yoki yang sekarang satu sekolah dengan ku namun ia satu
kelas di bawah ku dan Nanda adik kecil ku yang sekarang masih SD kelas 6. Ayah
adalah seorang rektor di universitas negeri ternama di kota ku. Sedangkan ibu
adalah dosen sekaligus pembantu dekan 1 di universitas swasta yang cukup
terkenal di kota ini.
Di meja makan nampak kak Lucky dan
Nanda sudah asyik menikmati makanan yang terhidang lezat di atas meja. Yoki
belum nampak terlihat. Entahlah, dia saudara ku yang paling malas, ia yang
selalu bangun paling akhir di keluarga kami. Ayah sudah sering memarahinya tapi
tidak pernah sekalipun ia berubah, ingin pun sepertinya tidak. Tapi bagaimana
pun juga dia anak yang paling pintar dari 4 bersaudara ini. Ia menjadi juara
lomba robotic tingkat internasional dan ketika ia lulus SMA nanti, ia sudah di
kontrak beasiswa oleh sebuah universitas terkemuka di Amerika sana. Sedangkan
aku, mengikuti seleksi olimpiade tingkat kota saja sepertinya sudah menjadi
batas maksimal ku.
“Angel, kamu sudah siap olimpiade
nanti?”, Tanya kak Lucky.
“Yups, kemarin sudah latihan soal
banyak banget, terus udah lumayan hafal isi buku Chambell dan buku TOBI”, jawab
ku penuh semangat.
“Hari ini masih pelatihan kan?”.
“Iya, nanti pelatihan di diknas,
pelatihannya 1 minggu terus langsung seleksi lagi tingkat propinsi, kalau lolos
3 hari kemudian akan langsung diboyong ke Jakarta untuk ikut seleksi tingkat
nasional”.
“Semangat ya!”.
“Iya kak”, kata ku dengan nada
bersemangat sambil melirik Nanda yang nampak bingung dengan pembicaraan kami
berdua.
Ku ambil piring yang menganggur di
atas meja. Ku isi dengan sedikit nasi lalu ku ambil beberapa lauk yang tersedia
di depan ku. Ada yang kurang pagi ini. Ayah, ya, ayah belum juga kunjung ku
lihat di ruang makan. Padahal biasanya ayah adalah orang pertama yang datang ke
ruang makan dan duduk ditemani koran dan secangkir kopi luak kesukaannya. Ku
lirik meja yang biasa ia singgahi. Hanya nampak kopi yang mengepul mengeluarkan
aroma khas kopi luak. Kemana ayah?
“Kenapa kak Angel?”, Tanya Yoki dari
belakang mengagetkan ku.
“Nggak kenapa kenapa”, jawab ku
kaget.
“Ayah sakit, katanya nggak bisa
bangun barusan mama nelpon dokter Jamal buat datang kesini”, kata Lucky seakan
membaca pikiranku yang di dalamnya ada pertanyaan “kemana ayah?”.
“Parah nggak?”.
“Nggak tau, belum ke kamarnya”, kata
Yoki santai seraya duduk dan menyiapkan makanan untuk dirinya.
Setitik rasa tak enak menghinggapi
hati dan pikiranku. Namun aku membuang jauh jauh pikiran itu. Ayah memang biasa
sakit-sakitan jika musim hujan datang. Yang ku tahu musim hujan sudah melangkah
datang 3 minggu yang lalu. Walaupun memang tidak dapat dipungkiri bahwa musim
di masa ini sudah tak tentu lagi karena pengaruh pemanasan global yang terkenal
itu.
Aku makan dengan perasaan hampa.
Biasanya ketika makan pagi ayah selalu memberi wejangan berharga yang akan
menambah semangat di pagi hari dan ibu akan memberi cemilan yang biasanya
berupa coklat untuk membuat pagi kami menjadi lebih manis dengan harapan hari
kami kedepan akan manis semanis coklat dari tangan ibu. Usai makan aku kembali
ke kamar, mengenakan kerudung putih yang terkulai tak berdaya di atas kursi.
Entah kapan mbak Yanti menyiapkannya, karena saat aku turun tadi kerudung itu
belum ada di tempatnya sekarang. Aku bercermin, melihat wajahku yang putih
kemerahan di balut kerudung nampak manis dan cantik. Wajahku mirip ayahku yang
putih dan tampan, dengan hidung mancung dan nampak seperti orang eropa. Ayah memang
keturunan Belanda asli. Sedangkan mataku nampak seperti mata ibu yang berwarna
coklat muda. Ku lihat lekat-lekat wajahku di dalam cermin. Nampak begitu anggun
dan dewasa di balik balutan kerudung. Kerudung ini ayah yang menyuruh aku
memakainya. Agar nampak cantik dan manis katanya. Tanpa dukungan ayah dan
dorongan dari ibu entah apa aku masih memakainya atau tidak. Karena yang ku
rasa kerudung ini begitu panas menyiksa diri dan tak begitu nyaman di kepalaku.
Alarm jam di kamarku berteriak
kencang. Mengingatkan ku bahwa aku harus segera berangkat agar tidak terlambat.
Aku segera turun, menuju kamar ayah. Ku lihat ia terbaring tidur dengan wajah
yang nampak menahan sakit. Di sampingnya ku lihat ibu duduk dengan cemas
memegangi tangan ayah yang nampak pucat. Dokter Jamal belum datang, mungkin
masih di perjalanan. Dokter Jamal adalah dokter keluarga kami. Ku kecup tangan
bunda dan kening ayah sebelum mengucapkan salam untuk pergi ke sekolah. Aku
berlari ringan menuju mobil Lancer yang sudah menyala nyaring. Pak Gusti sudah
siap sedia menungguku di dalam mobil. Kami berangkat dengan do’a dan canda.
Diknas nampak begitu sepi. Maklum,
jam masih menunjukkan angka 7.20, biasanya mereka yang bekerja di dinas baru
bermunculan ketika jam sudah menunjukkan pukul 08.00. 3 anak lain yang lolos
seleksi olimpiade tingkat kota ku lihat sudah duduk menanti pembimbing kami.
Dalam perjanjian yang kami buat kemarin, pelatihan olimpiade akan dilaksanakan
pukul 7.30. Jadi masih ada 10 menit untukku beristirahat relaks sejenak sebelum
kepalaku di penuhi oleh teori teori enzim dan rangkaian rangkaian kimia yang
membuat kepalaku terasa sangat panas dan berat. Pak Gusti sudah pergi
meninggalkan ku sendiri. Ia harus siap di rumah untuk mengantar ibu ke kampus.
Pak Gusti adalah satu-satunya supir di keluarga kami. Ibu sempat meminta ayah
untuk mencarikan supir lain agar pak Gusti tidak repot mengurus aku, Nanda dan
ibu. Tapi ayah menolak dengan alasan berhemat. Sejenak berlalu sesaat pergi.
Pembimbing itu akhirnya datang juga. Seorang lelaki paruh baya dengan kacamata
bulat dan jidat lebar. Yang ku tahu ia adalah dosen ahli di universitas tempat
dimana ayahku menjadi rektor.
Latihan olimpiade pada hari ini
begitu menarik. Dosen senior ini menampakkan kelasnya sebagai pendidik bukan
pengajar yang handal pada kami. Ia mendidik kami dengan sangat menyenangkan
sekaligus membuat kami paham. Tak seperti guru Biologi pembimbing olimpiade di
sekolahku yang menuntut aku untuk hafal. Ia menuntut aku untuk paham akan
pelajaran yang ia sampaikan. Ia menyampaikan materinya dekat diselingi oleh
candanya agar tak nampak membosankan, namun disela tawa itu kami dibawa agar
konsentrasi kami tidak hilang. Sebuah hal yang hanya bisa dilakukan oleh
pengajar professional.
Di tengah pembahasan aku mendapat SMS
dari kak Lucky, “Angel, Bapak dibawa ke rumah sakit, kamu jangan khawatir,
tetap lanjutkan belajar!”. Itu isi SMS yang ia kirim. Sejenak aku kehilangan
mood untuk belajar. Pikiranku melayang membuat banyak pertanyaan. Namun seiring
waktu, kharisma dosen ini membawa ku terhanyut lagi ke dalam ilmu yang ku
gemari ini. Walaupun terkadang rasa mengganjal itu ada, namun hal itu dapat
ditekan oleh menariknya bahasan yang diangkat oleh dosen ini. 20 menit berlalu
sejak SMS itu. Tiba-tiba HP ku bergetar kencang seiring dengan suara ringtone
yang keluar dari HP milik dosen yang ia simpan di sakunya. Ku angkat telpon di
HP ku. Sekilas ku lihat dosen itu melakukan hal yang sama. Anak- anak lain
melihat kami berdua dengan senyum aneh dan tawa tertahan.
“Halo Assalamu’alaikum”, kata kak
Lucky dari balik telpon.
“Wa’alaikumsalam, ada apa kak?”,
kata ku.
“Ayah dek….”, kata kak lucky
tertahan
“Ayah kenapa kak?”
“Ayah meninggal angel, ayah gagal
jantung”, kata kak Lucky seraya terisak tak mampu menahan tangis.
“Serius kak? Dimana sekarang?”,
kataku dengan suara yang bergetar nyaris hampir tak terdengar.
“RS Bhayangkara dek, kamu izin dulu
sama pembimbingnya ayo cepat kesini”
“I….Iya kak”, air mataku mengalir
tak henti, mulutku bergetar menahan suara yang ingin rasanya ku keluarkan dalam
bentuk teriakan. Entah bagaimana bentuk hatiku saat ini. Mungkin tak berbentuk
lambang cinta. Mungkin sudah berbentuk segitiga atau bangun tak bersegi.
Ku lihat dosen itu juga berlinang
air mata. Aku yakin ia mendapat kabar juga dari temannya sesama dosen.
Teman-teman ku yang lain menatap kami berdua dengan bingung. Beberapa dari
mereka membuka HP, entah mungkin mengecek tokoh terkenal siapa yang meninggal
sehingga membuat 2 orang menangis bersamaan setelah menerima telpon yang
bersamaan pula. Aku segera minta izin ke dosen itu yang hanya menjawab dengan
anggukan kepala dan tatapan iba padaku. ku rasa ia begitu menghormati sosok
ayahku, sampai sampai ia terlihat begitu terpukul atas kepergian ayahku. Di
tempat parkir ku lihat pak Gusti sudah siap. Ku lihat matanya sembab oleh air
mata. Sepertinya tak hanya aku yang terpukul atas kejadian ini.
Perjalanan terasa begitu lama. Aku
hanya bisa memejamkan mata. Membayangkan kejadian kejadian di masa lalu ketika
kami sekeluarga selalu bercanda bersama dan canda itu pasti selalu berawal dari
kata kata ayah yang menarik kami untuk tertawa. Teringat kembali bagaimana
bentuk wajah ayah yang rupawan tersenyum padaku. Air mata itu terus mengalir
membasahi pipi yang sudah merah menyala. Mataku nampak bengkak karena terlalu
banyak mengeluarkan air mata. Entah bagaimana mengungkapkan rasa di hati ini
dengan kata-kata. Aku pernah ditinggal oleh kekasih yang sangat aku cintai.
Rasanya perih dan pedih. Namun ini, jauh, jauh dari rasa itu. jauh lebih perih,
jauh lebih pedih, jauh lebih rindu. Ya, rindu. Aku menjadi sangat rindu pada
ayah. Rasa penyesalan ku tumbuh ketika aku sadar, mengapa tak ku peluk tubuh
ayah ketika ia masih bernafas tadi pagi? Mengapa tak kecup kening itu lebih
lama? Mengapa do’a untuk kesembuhannya tak ku ucapkan? Mengapa? Beribu
pertanyaan muncul di balik benakku, mengunci mati diriku sendiri dalam
penyesalan yang sangat mendalam. Aku hanya bisa mengucurkan air mata. Membuat
pertanyaan-pertanyaan yang semakin mengecilkan hatiku tanpa membuat jawaban apa
pun. Inilah rasanya ditinggal orang yang dicinta. Terasa begitu sepi dan
dingin. Terasa seperti tak memakai sehelai benang penutup tubuh. Dingin dan
rentan. Sempat sekilas aku berfikir menghujat tuhan. Mengapa harus ayahku yang diambil?
Ada jutaan orang di muka bumi mengapa harus ayahku yang usianya masih 44 tahun?
Mengapa? Namun apalah arti menghujat tuhan. Buku itu memang sudah dituliskan.
Buku itu yang bernama takdir sudah ditetapkan. Aku hanya bisa pasrah menerima
kehendak yang mahakuasa. Walau pedih dan perih. Hanya do’a dan penghiburan diri
yang mampu ku ucapkan.
Detik berganti menit, menit berganti
jam. Aku duduk di atas pusara ayah yang masih nampak baru dan segar. Menatap
lekat-lekat setiap inchi pusara tempat peristirahatan terakhir orang yang
membentuk aku menjadi pribadi yang tangguh dan berguna. Ku lihat Nanda masih
terisak memegang patok batu di atas pusara itu. Ia terus mengucap nama ayah.
Ucapan yang mungkin didengar oleh ayah namun tak dapat ia balas. Ku lihat ibu
terus menatap pusara itu tanpa kata dan dengan hampa. Entah kesadarannya pergi
kemana. Yang ku tahu, memori-memori masa lalu itu kini sedang tayang di dalam
angan-angannya. Memori bahagia, memori penuh tawa.
Jam berganti hari, hari berganti
bulan. Keadaan berubah semenjak kepergian ayah. Kami semua nampak begitu
pendiam. Nanda yang biasa berceloteh ini itu, kini tak terdengar lagi kicaunya.
Aku pun begitu. Olimpiade Biologi ku lepas. Aku benar-benar tak bisa
berkonsentrasi mengikuti pelatihan semenjak kepergian ayah. Nilai-nilaiku dan
ketiga saudaraku pun anjlok di sekolah. Entah apa yang ada dibenak kami
sehingga prestasi kami bisa turun seperti itu. Satu yang kusadari yaitu ayah
menjadi sebuah pusat di keluarga kami. Kami benar-benar bersandar sepenuhnya
padanya. Dan saat ini ia tak ada dan hilanglah tempat kami bersandar. Sehingga
kami benarbenar jatuh. Ibu pun tak mampu menanggulanginya. Karena ia sendiri
pun nampaknya masih belum bisa menerima kepergian ayah. Ia nampak murung dan
sepi. Kami mulai meninggalkan kebiasaan makan bersama di ruang makan. Kami
benar-benar kehilangan momen keluarga. Sejenak lalu memang kami berusaha untuk
berubah karena kami kasihan melihat ibu yang kian hari kian murung dan tak
henti menangis. Namun apalah daya apa lacur. Kami tetap belum bisa
mengendalikan perasaan kehilangan kami yang mendalam. Walau jam telah berganti
hari dan hari telah berganti bulan dan bulan terus bertambah menjadi bulan yang
baru dan seterusnya yang baru. Hingga suatu hari keadaan memburuk. Ibu benar-benar
kehilangan akal sehatnya. Ia mulai suka berbicara sendiri, menangis sendiri,
tertawa sendiri bahkan ia menganggap bahwa boneka beruang pemberian ayah
padanya adalah ayah. Ia sering mengobrol dengan boneka beruang itu. Karena
merasa hal ini tak dapat dibiarkan, ibu kami kirim ke rumah sakit jiwa untuk
mendapat pertolongan. Jadilah kami menjadi anak-anak yang tak bisa apa apa. Kak
Lucky mendapat black list dari kampus karena sering tidak masuk. Aku dan Yoki
pun tak jauh berbeda. Nanda yang masih kecil memang tidak terlalu parah
keadaannya, namun indeks prestasinya sedikit menurun adanya. Kami akhirnya
memutuskan untuk tinggal bersama bibi di Bogor. Sebuah tempat yang sangat jauh
di pulau seberang. Namun itu memang langkah yang harus kami tempuh. Rumah istana
itu akhirnya kami jual, segala harta benda kami pun jual untuk membantu biaya
bibi dalam mengurus kami.
Aku benar-benar merasa telah
berubah. Tak ada lagi baju yang disiapkan di atas kasur, tak ada lagi kerudung
indah, bahkan tak ada lagi sekolah elit mahal yang dulu sempat aku tempuh. Di
Bogor ini aku bersekolah di sekolah standar. Bibi memang mendapat kucuran dana
besar dari hasil penjualan rumah kami. Namun bagaimana pun juga uang itu harus
dihemat. Apalagi ia harus membangun rumahnya yang kecil itu menjadi lebih besar
agar muat menampung kami berempat dan keluarganya yang terdiri dari 3 orang
anak.
Sungguh aku muak dengan apa yang
terjadi. Pagi ini pagi yang mendung di kota hujan. Aku tinggal di rumah
sendirian karena kebetulan sekolah ku libur karena rapat guru. Di rumah ini tak
ada pembantu. Jadi aku benar-benar sendiri di rumah. Entah iblis apa yang
merasuk ke dalam angan ku. Sekejap lamanya aku mengambil tambang yang
tergeletak rapi di gudang. Ku ikatkan ke atas langit langit kayu yang ada di kamarku.
Ku buat tali berbentuk lingkaran di bagian bawah. Aku muak dengan hidup ku. Tak
ada lagi angel yang cantik, manis dan pintar. Kini aku sudah hancur. Aku
lingkarkan tali itu ke leherku. Sekejap lama sedetik waktu, aku tergantung
dengan rasa pusing yang luar biasa. Sekilas aku sadar, betapa bodohnya aku lari
dari masalah duniawi menantang masalah surgawi. Aku baru sadar bagaimana
perasaan ayah ketika bertemu aku di akhirat nanti dengan keadaan ku yang mati
dengan paksa ini? Kecewa pastinya dia. Namun sadar itu terlambat adanya. Karena
mata telah padam dan kesadaran sudah menjadi bayang bayang. Ingin rasanya ku
paksakan untuk mencapai kesadaran penuh. Namun apa lacur. Nasi sudah menjadi
bubur. Ku pejamkan mata dan ku lemaskan badan dengan penuh penyesalan.
Entah apa yang ku rasa
entah apa yang ku pikirkan. Namun aku yakin aku melihat sinar di depanku. Aku
yakin aku telah tiada, namun aku pun yakin itu sinar terang yang ada di depan
ku. ku mencoba membuka mata. Silau awalnya pusing akhirnya. Aku membuka mata
perlahan dan ku lihat ketiga saudara ku mengelilingi ku. Aku tertidur di atas
matras rumah sakit dengan tangan terpasang infus. Kesadaran ku pulih. Ini bukan
akhirat. Ini nyata! Aku masih hidup! Duduk aku dengan tergesa. Menatap hampa
sekeliling yang ada. Otakku dengan segera menyusun pertanyaan. “Hendak apa ku
jadikan hidupku yang baru ini?”. Dan untuk kali ini ku temukan jawabannya.
“Membuat ayah bahagia di Surga sana”.Karya: Ahmad Shafly Zachary
0 komentar:
Posting Komentar